Sebuah Seni untuk Mengikhlaskan

Membatasi Diri dari Lingkaran Adiksi Perbandingan

Argya Rangga Wicaksono
4 min readJun 3, 2024
Kredit: Reinhard Pantke (Alamy)

Tulisan ini kubuka dengan sebuah gambar perairan sejuk yang dihuni beberapa perahu di atasnya. Bagaimana perasaanmu ketika melihatnya, begitu tenang bukan? Hari ini, aku ingin membawa kalian pada sebuah perjalananku untuk belajar dan mengerti bahwa tidak seluruh benda di dunia ini adalah milik kita.

Tanpa kusadari, kehidupan kampusku tak lama lagi akan berakhir menyisakan memori perjalanan yang mungkin tak akan aku temui di tempat lain. Aku memulai kurang lebih 4 tahun lalu, ketika dunia sedang berhenti sejenak walau waktu terus berjalan tanpa beristirahat. Kala itu, aku dan seluruh teman seangkatanku diberi nikmat libur dua pekan, yang ternyata berlanjut hingga hampir dua tahun hingga kami kembali merasakan kelas yang sesungguhnya.

Tahun pertama, rasanya sulit untuk beradaptasi dengan kondisi yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Bagiku, lebih sulit menahan kantuk pada saat kelas dibanding mengikuti materi yang diberikan oleh dosen pada saat kelas. Jika aku tertinggal, kan bisa saja tinggal lihat rekaman kelas dan mencatat apa yang perlu dicatat, tetapi jika ketiduran di kelas rasanya hampir pasti meninggalkan sesuatu yang penting. Iya, yang aku maksud adalah presensi, hahah. Namun, aku tidak mau membahas itu lebih dalam lagi, lebih baik aku simpan saja agar nanti aku masih punya bahan untuk lanjut menulis.

Sekarang, aku lebih ingin membahas kehidupan di masa terakhirku di kampus ini. Tulisan ini mungkin singkat, tapi semoga isinya bisa aku sampaikan dengan baik ya.

Lepaskan saja

Ketika aku sedang berjibaku menyelesaikan tugas akhir, banyak temanku yang sudah mengambil awalan lebih dulu untuk memulai jenjang karirnya, mulai dari yang magang hingga yang jadi karyawan tetap pun sudah ada. Makin hari, aku semakin merasa bahwa aku tertinggal dibanding yang lain.

Kegiatan yang paling kutakuti bukanlah mengerjakan TA, tetapi membuka LinkedIn dan melihat prestasi mereka yang sudah mempersiapkan karirnya terlebih dahulu. Selain mereka, beberapa temanku pun sudah ada yang mengambil beasiswa untuk melanjutkan studi mereka. Setiap melihatnya, aku pun berpikir dalam pikiran kecilku, “Hebat banget mereka, belum lulus saja sudah punya rencana. Aku sendiri belum tahu nanti bagaimana.”

Hampir dua bulan lebih sejak dimulainya semester 8, aku selalu dihadapkan pada dilema, antara menyelesaikan TA dengan cepat atau aku lakukan bersama dengan mencari peluang karir. Hasilnya, aku pusing tujuh keliling. Pikiranku dipenuhi oleh seluruh beban yang aku ciptakan sendiri. Sialnya, aku belum punya penawar untuk digunakan ketika semua itu sedang menimpaku secara bersamaan.

Namun, ternyata penawarnya mudah, lho. Cukup ikhlaskan diri saja dan yakinkan bahwa akan ada jalan terbaik. Terdengar klise ya?

Tapi benar, kok. Aku merasa ketika hal itu terus kita pikirkan, rasanya akan jadi semakin membebani kita. Ada baiknya kita ikuti arus saja, tapi jangan sampai terbawa oleh arus. Ada masa ketika kita perlu beristirahat sejenak dan ada pula saatnya kita untuk bergerak menginjak pedal gas sekencang mungkin.

Setelah aku berusaha untuk berpikir lebih positif, ada ketenangan yang muncul di dalam pikiran dan hatiku seperti semuanya berkata, “Setiap orang sudah ada jalannya. Sekarang, tinggal kamu maunya seperti apa?” Bagiku saat ini, aku menganggap bahwa setiap orang sudah memiliki jalannya masing-masing yang terbaik untuk mereka.

Si A yang sudah menjadi best staff di salah satu perusahaan multinasional, si B yang sudah mengikuti pertukaran pelajar ke Eropa, atau si C yang sudah diterima oleh perguruan tinggi ternama di Korea.Mereka semua hidup di dalam garis waktunya masing-masing, dengan kecepatannya sendiri. Ada kalanya dua garis waktu bertemu satu sama lain, tetapi mereka akan beredar pada garisnya masing-masing, walaupun terkadang ada gangguan eksternal juga, sih.

Intinya seperti ini, aku tidak ingin lagi membandingkan pencapaianku dengan pencapain orang lain. Kenapa? Posisi start-nya saja sudah berbeda, masa mau berharap finish di posisi yang sama juga? Aku melihat pencapaian orang lain itu sebagai salah satu motivasi bahwa aku juga bisa seperti mereka, walaupun saat ini aku masih berlatih agar tidak ada rasa iri ketika melihatnya.

Prinsip ini aku bawa pada saat aku mengikuti interview salah satu perusahaan akhir bulan lalu. Katanya, “Kamu mau ambil S2, tapi peluang kamu akan jauh lebih besar jika kamu gak ambil S2. Pertanyaannya, why?” Jawabku sih normatif, aku berdalih tidak mau membandingkan diri dengan yang lainnya, padahal memang sebenarnya aku juga tidak tahu mau jawab apa karena diberikan pertanyaan spontan seperti itu.

Keluar dari ruang interview, rasanya aku kok bodoh sekali menjawab pertanyaannya hanya seperti itu, tapi ya sudahlah. Kataku, “Jika memang rezeki baguslah, jika belum juga tidak apa yang penting sudah mencoba.” Ternyata, sehari setelahnya aku diberi e-mail bahwa aku lolos ke tahapan seleksi selanjutnya. Tidak disangka ya.

Pelajarannya, sudah cukup itu saja sebenarnya. Aku tidak ingin kamu yang membaca ini merasa rendah diri atas pencapaian orang lain. Aku ingin kamu percaya bahwa setiap dari kita berhak dan mampu untuk meraih mimpi setinggi-tingginya.

“Gantung mimpimu setinggi mungkin, tapi pastikan kau bisa meraihnya, walaupun perjalanannya penuh dengan rintangan yang siap menerkammu.”

--

--