Mengenal Hilal dan Perbedaan Penentuan Kalender Hijriah di Indonesia

Argya Rangga Wicaksono
12 min readApr 21, 2023

--

Hilal 1 Muharram 1443 H (9 Agustus 2021) teramati di Ternate (Sumber: BMKG via Wikipedia)

Hari Kamis (20/04), Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, menetapkan hari raya Idulfitri 1444H di Indonesia jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023. Hasil ini menimbulkan perbedaan antara tanggal yang ditetapkan pemerintah dengan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, walaupun sebenarnya perbedaan semacam ini sudah menjadi suatu hal yang lumrah tiap tahunnya.

Apakah kamu salah satu di antara yang bertanya, “Bagaimanakah hilal dapat menentukan penanggalan dalam kalender Hijriah?” atau mungkin kamu bertanya, “Hilal itu apa, sih?” Jika kamu adalah salah satu di antaranya, mungkin artikel ini akan sedikit menjelaskan bagaimana penentuan penanggalan dalam kalender Hijriah yang secara tidak langsung juga akan menyinggung perbedaan penetapan hari raya Islam di Indonesia.

Penulis telah berusaha untuk meringkas pembahasan yang disampaikan, namun sepertinya tulisan ini mungkin tetap cukup panjang agar pembahasannya runut dan dapat mudah diterima oleh para pembaca. Penulis menyarankan anda untuk menyiapkan tempat yang nyaman dengan pencahayaan yang memadai agar mata anda tidak lelah dan tulisan ini dapat bermanfaat untuk menambah pemahaman anda dalam proses penanggalan kalender Hijriah.

Selamat membaca!

Masalah Tiga Benda

Pembahasan akan dimulai dengan mengenal trio benda langit yang menjadi patokan kita dalam menyusun kalender dari zaman dahulu, yaitu Matahari, Bulan, dan Bumi. Bulan beredar mengelilingi Bumi dalam periode rata-rata 29.50 hari[1], dan Bumi bersama Bulan beredar mengelilingi Matahari selama kira-kira 365.25 hari. Kombinasi dari gerak inilah yang kerap kali menjadi penanda dalam penentuan kalender yang digunakan oleh berbagai peradaban.

Kalender terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu kalender solar (Matahari) seperti kalender Gregorian (Masehi) yang biasa kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, kalender lunar (Bulan) seperti kalender Hijriah, dan kalender lunisolar (kombinasi Bulan-Matahari) seperti kalender Cina. Pada pembahasan tulisan ini, kita akan lebih berfokus kepada kalender lunar yang menjadi basis penanggalan Hijriah.

Periode revolusi Bulan terhadap Bumi yang tidak bulat, yaitu 29.5 hari, memungkinkan adanya ketidaksesuaian antara kalender lunar dengan kalender solar. Satu kalender solar seperti Gregorian memiliki panjang 365 hari (366 untuk tahun kabisat), sementara kalender lunar seperti Hijriah memiliki panjang hanya sekitar 354 hari (355 untuk tahun kabisat). Perbedaan ini dapat ditutupi sebenarnya menggunakan metode interkalasi, yaitu penambahan tanggal berdasarkan suatu aturan tertentu. Namun, Allah berfirman dalam Q.S. at-Tawbah ayat 36–37 yang isinya merupakan larangan untuk menambahkan hari pada bulan-bulan Hijriah.

Dalam praktiknya, satu tahun kalender Hijriah terdiri dari 12 bulan yang memiliki panjang antara 29 atau 30 hari sebagai akibat dari variasi periode orbit Bulan terhadap Bumi. Penentuan panjang bulan Hijriah dapat didasarkan pada dua metode yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut, yaitu hisab dan rukyat hilal. Biasanya, kedua metode ini akan lazim digunakan untuk menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah yang bertepatan dengan beberapa hari besar keagamaan Islam.

Mengenal Hilal, Cahaya Tipis Bulan yang Sangat Muda

Hilal, atau anak bulan, adalah istilah yang biasa digunakan untuk menunjukkan kenampakan pertama dari Bulan muda setelah terjadinya konjungsi (ijtimak). Dalam astronomi, konjungsi adalah kondisi ketika Matahari-Bumi-Bulan berada dalam satu garis yang lurus dengan posisi Bulan berada di antara Bumi dan Matahari. Posisi Bulan pada saat konjungsi ini dikatakan sebagai fase bulan baru (new moon). Memang perbedaan antara bulan baru dengan hilal sangatlah tipis, namun keduanya tidak sama dan perlu diingat bahwa hilal yang menjadi faktor penentu awal bulan Hijriah, bukan fase bulan baru.

Hilal dapat diamati beberapa saat setelah Matahari terbenam di arah yang mendekati arah terbenamnya Matahari dengan jendela pengamatan yang biasanya terbuka hingga sekitar 45 menit setelah Matahari terbenam. Mengamati hilal dapat dibilang mudah-mudah sulit, ia dapat dikatakan mudah karena instrumen astronomi seperti teleskop telah tersedia dan memudahkan kita untuk menerka dimana posisi Bulan. Namun, pengamatan hilal juga terbatas oleh kondisi lain, seperti waktu, cuaca, dan kondisi langit yang masih dipenuhi oleh cahaya syafaq (rona merah dari Matahari yang telah terbenam)

Kondisi pengamatan hilal oleh masyarakat di sekitar ITERA, Lampung. (Sumber: ITERA)

Proses pengamatan hilal yang lazim dilakukan di Indonesia dimulai dengan mempersiapkan alat pengamatan seperti teleskop, kemudian para pengamat hilal akan menunggu Matahari terbenam dan mengarahkan teleskop ke arah di dekat posisi Matahari saat terbenam untuk mulai mengamati hilal. Hilal nantinya akan terlihat sebagai sebuah sabit sangat tipis yang berada di piringan Bulan (lihat gambar di awal tulisan sebagai ilustrasi) dan memantulkan cahaya samar dari Matahari.

Menggunakan Hilal Sebagai Penentu Awal Bulan Hijriah

Penentuan awal bulan Hijriah sebenarnya didasarkan pada beberapa konvensi sesuai dengan tuntunan syariat itu sendiri. Pada hakikatnya, panjang bulan akan tetap 29 atau 30 hari, namun tidak ada aturan khusus yang menjelaskan urutan sekuensial dari panjang hari dalam satu bulan dikarenakan beberapa variabel yang digunakan dalam pengamatan hilal di awal bulan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Jika kalian melihatnya (hilal bulan Ramadhan) maka berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya (hilal bulan Syawwal) maka berhari rayalah, akan tetapi jika ia (hilal) terhalang dari pandangan kalian maka kira-kirakanlah”, dalam riwayat lain “…maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhori dan Muslim)[2]

Dari hadits di atas, telah jelas bahwa Rasulullah memberi tuntunan kepada umatnya untuk melihat hilal sebagai cara untuk menentukan datangnya bulan baru dalam kalender Hijriah. Munculnya metode hisab (yang akan dijelaskan selanjutnya) mungkin berakar pada penafsiran beberapa ulama pada frasa “…maka kira-kirakanlah” yang bisa saja berarti penanggalan Hijriah dapat dilakukan dengan memanfaatkan ilmu hisab falakiyah (perhitungan astronomis).

Kembali pada pembahasan terkait metode rukyat, ada beberapa batasan dalam pengamatan hilal, namun salah satu yang paling berpengaruh yaitu umur hilal yang secara tidak langsung menentukan posisinya di langit. Hilal baru dapat terlihat dengan jelas jika umur hilal sekitar sekurangnya 17 jam, tentunya dengan kondisi variabel astronomis lain yang memadai, seperti cuaca, kondisi geografis, dan waktu [3]. Dalam kondisi langit yang tidak memadai dilakukannya pengamatan, seperti hujan atau mendung sehingga visibilitas hilal sangat kecil, maka jumlah hari pada bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari. Seharusnya, hilal sudah pasti terlihat pada sore hari ke-30, namun pada kasus tertentu, bulan Hijriah akan tetap berganti apapun hasil pengamatan hilal, baik itu terlihat maupun tidak.

Pengamatan hilal biasanya akan didasarkan pada dua aspek, yaitu ketinggian dan elongasi. Ketinggian hilal mengacu pada berapa jarak sudut tegak lurus horizon menuju kenampakan hilal. Cara pengukuran ketinggian hilal adalah dengan menarik garis lurus dari pusat Bulan hingga menuju horizon. Sementara itu, elongasi merupakan jarak sudut pisah antara hilal dengan Matahari yang diukur pada waktu pengamatan.

Pada pengamat yang terletak di bagian barat Bumi, misalnya Amerika lebih barat dari Eropa yang juga lebih barat dari Indonesia, mereka akan memiliki kesempatan lebih tinggi untuk melihat hilal karena umurnya yang sudah lebih tua dibanding ketika hilal teramati di Indonesia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sederhananya, ijtimak terjadi dalam suatu waktu yang bersamaan untuk seluruh dunia, sehingga Bulan akan terbenam lebih lama untuk daerah yang lebih barat (dengan umur yang lebih tua pula). Akibat fenomena ini, negara Muslim di belahan Bumi bagian barat kemungkinan akan mengamati hilal sehari lebih dahulu dibanding negara Muslim di bagian timur. Hal inilah yang dapat menjadi penjelasan mengapa terkadang Arab Saudi telah memutuskan hari raya sementara Indonesia perlu menambah satu hari puasa Ramadhan.

Selain itu, karakter Bulan yang akan selalu terlambat terbit selama sekitar 50 menit per harinyamenyebabkan pengamatan pada hari selanjutnya akan menghasilkan kenampakan Bulan yang lebih signifikan, karena umur hilal sudah lebih tua dan posisinya sudah lebih tinggi di langit pada saat terbenamnya Matahari [4].

Perbandingan visibilitas hilal 1 Syawwal 1444H untuk tanggal 20, 21, dan 22 April 2023 di seluruh dunia. (Sumber: MoonSighting via Twitter @ainunnajib)

Gambar di atas menunjukkan bagaimana pengaruh bujur terhadap visibilitas hilal 1 Syawwal 1444H yang diamati secara berurutan pada tanggal 20, 21, dan 22 April 2023. Daerah yang dapat melihat hilal dengan mudah ditandai oleh warna hijau, warna biru langit menandakan daerah yang dapat melihat hilal hanya jika kondisi langitnya sangat baik, warna abu-abu menandakan daerah yang dapat melihat hilal lebih mudah dengan bantuan alat optik, warna merah menandakan daerah yang bisa melihat hilal namun hanya dengan menggunakan bantuan alat optik, serta daerah hitam yang berarti hilal tidak nampak.

Dapat dilihat bahwa daerah hijau dan biru pada tanggal 20 April hanya melingkupi daerah samudera Pasifik dan sebagian Amerika Utara, sementara daerah Eropa hingga sekitar Afrika Utara ditandai oleh warna abu-abu dan merah. Terlihat pula, daerah Indonesia belum dapat melihat hilal pada tanggal 20 April (ditandai oleh warna hitam). Jika kita mundur sehari ke tanggal 21 April, dapat dilihat bahwa hampir seluruh daerah di Bumi sudah dapat melihat hilal dengan jelas karena kenampakannya yang sudah lebih tinggi dan pengaruh cahaya syafaq sudah memudar.

Dalam menentukan bulan baru, beberapa kantor yang berwenang di sejumlah negara muslim berusaha untuk mengeluarkan konsensus yang berisikan kriteria agar hilal dapat dikatakan terlihat dengan jelas. Di Indonesia dan negara tetangga, dibentuk MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang bertugas mengesahkan kriteria visibilitas hilal. Kriteria Neo MABIMS yang saat ini dipegang adalah ketinggian hilal minimum 3 derajat dengan elongasi minimum 6.4 derajat yang sesuai dengan artikel Odeh (2006) [5]. Menurut peneliti BRIN, Prof. Thomas Djamaluddin, kriteria baru ini didasarkan pada data pengamatan yang telah diperoleh sebelumnya sehingga angka di atas bukanlah hasil perkiraan [6].

Namun, apa yang sebenarnya dilihat oleh para pengamat ketika mereka berusaha mengamati hilal? Akan ditampilkan ilustrasi pengamatan hilal yang didapatkan dari software astronomi, Stellarium. Posisi pengamat pada ilustrasi ini diatur berada di Jakarta. Namun sebelum itu, ada baiknya kita melihat profil hilal agar dapat lebih memahami persoalan yang sedang kita hadapi.

Profil hilal tanggal 20 April 2023 di Jakarta dari aplikasi Stellarium. (Sumber pribadi)

Dari gambar di atas, kita lihat ketinggian (Alt.) hilal hanya sekitar 1°06' atau sekitar 1.1° dengan elongasi sekitar 2°42' atau 2.7°. Apabila seorang pengamat berusaha untuk mengamati hilal pada kondisi tersebut, ilustrasi di bawah ini menggambarkan hasil yang akan diperoleh. (Ilustrasi menggunakan teleskop Celestron C8 dengan lensa okuler 26mm)

Ilustrasi pengamatan hilal pada tanggal 20 April 2023 di Jakarta menggunakan teleskop Celestron C8 pada aplikasi Stellarium. (Sumber pribadi)

Gamabr di atas seakan hanya menunjukkan langit yang kosong tanpa adanya sabit kecil hilal. Oleh karenanya, para pengamat yang melihat hal ini seharusnya akan bersaksi bahwa mereka tidak melihat hilal pada tanggal 20 April sehingga bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Syawwal 1444H jatuh pada tanggal 22 April 2023. Jika kita atur tanggal simulasinya menjadi 21 April, berikut adalah profil hilal yang akan diperoleh.

Profil hilal tanggal 21 April 2023 di Jakarta dari aplikasi Stellarium. (Sumber pribadi)

Terlihat bahwa hilal sudah ada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tanggal 20 April dengan ketinggian sekitar 11.4° dan elongasi 15.4° sehingga knampakan hilal yang dilihat melalui teleskop pun akan lebih jelas seperti gamabr di bawah ini.

Ilustrasi pengamatan hilal pada tanggal 21 April 2023 di Jakarta menggunakan teleskop Celestron C8 pada aplikasi Stellarium. (Sumber pribadi)

Pada gambar di atas, sudah nampak ada sabit kecil di bagian kiri bawah citra hilal yang menandakan telah masuknya bulan Syawwal. Pada kasus ini, pengamat seharusnya bersaksi bahwa mereka telah melihat kenampakan hilal dan mengonfirmasi masuknya bulan Syawwal 1444H pada sore hari tanggal 21 April 2023, sehingga Idulfitri akan jatuh pada 22 April 2023.

Profil hilal tanggal 20 April 2023 di New York dari aplikasi Stellarium. (Sumber pribadi)

Teori visibilitas hilal untuk daerah Bumi bagian barat terbukti karena untuk tanggal yang sama, misal kita ambil New York sebagai perbandingan, hilal sudah berada pada ketinggian 8° dengan elongasi 9.4° yang memungkinkan hilal untuk dilihat walaupun bentuknya masih sangat tipis seperti pada ilustrasi di bawah ini.

Sabit sangat kecil dapat terlihat apabila kita amati dengan jeli di bagian bawah sebelah kanan dari citra yang dihasilkan. Oleh karenanya, tidak membingungkan apabila muslim di Amerika merayakan hari raya Idulfitri pada 21 April 2023.

Hisab dan Ijtihad Penentuan Kalender Hijriah

Dalam astronomi, dikenal istilah astronomical lunar calendar, yaitu kalender lunar yang sepenuhnya didasarkan pada perhitungan astronomis. Dalam kalender ini, gerak Bulan dianggap konstan dengan periode tetap 29.53 hari mengelilingi Bumi dan bulan baru dimulai tepat ketika konjungsi terjadi. Panjang setiap bulan akan saling bergantian 29 dan 30 hari sehingga total setiap dua bulan akan ada sekitar 59 hari dengan selisih eror hanya sekitar 44 menit. Perbedaan 44 menit ini nantinya akan terkumpul menjadi satu hari dalam waktu 2.73 tahun, sehingga menyebabkan perlunya suatu tahun kabisat setiap sekitar 3 tahun sekali. Metode inilah yang secara kasar dikenal sebagai metode hisab dan mungkin saja bisa menjadi alternatif bagi metode rukyat [7].

Hisab merupakan salah satu metode ijtihad yang digunakan sebagai tafsir dari hadits Rasulullah yang telah disampaikan sebelumnya. Di Indonesia, metode hisab digunakan salah satunya oleh Perserikatan Muhammadiyah dan beberapa organisasi lainnya. Dalam menentukan bulan baru, Muhammadiyah menentukan tiga syarat yang ketiganya perlu dipenuhi secara bersamaan [8], yaitu:

  1. Telah terjadi ijtimak pada hari tersebut, yaitu kondisi dimana Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada satu garis lurus.
  2. Ijtimak terjadi sebelum waktu maghrib (terbenamnya Matahari) pada hari yang sama.
  3. Pada saat Matahari terbenam, hilal harus berada di atas horizon (ufuk).

Untuk kasus penentuan 1 Syawwal 1444H, mari kita telaah satu per satu dari ketiga kriteria yang telah disebutkan di atas. Pada akhir Ramadhan 1444H, ijtimak terjadi pada tanggal 20 April 2023, sekitar pukul 11.12 WIB. Yang menjadi spesial adalah ijtimak di akhir Ramadhan ini bertepatan dengan terjadinya fenomena gerhana Matahari total (GMT) yang melewati beberapa daerah di Indonesia, seperti Pulau Kisar di Maluku dan Biak Numfor di Papua.

Fenomena gerhana Matahari total (GMT) di Pulau Kisar, Maluku pada 20 April 2023. (Sumber: YouTube Bosscha Observatory)

Terjadinya GMT pada tanggal 20 April kemarin menjadi penanda bahwa syarat pertama dari kriteria wujudul hilal terpenuhi, yaitu telah terjadinya ijtimak. Fenomena ini sekaligus memenuhi kriteria kedua karena terjadinya ijtimak adalah sebelum maghrib. Dan seperti yang telah ditunjukkan pada bagian sebelumnya, posisi hilal masih berada di atas ufuk pada saat Matahari terbenam, sehingga kriteria ketiga juga terpenuhi. Oleh karenanya, Muhammadiyah berdasarkan kriteria hisab hakiki wujudul hilal menetapkan Idulfitri 1444H jatuh pada hari Jumat, 21 April 2023.

Sedikit Kesimpulan Penulis

Dari beberapa sumber yang telah penulis baca, sebagian besar ulama masih memegang teguh prinsip rukyat sebagai jalan terbaik dalam menentukan awal bulan Hijriah dikarenakan tuntunan Rasulullah untuk melihat bulan, bukan melakukan perhitungan. Dalam redaksinya, Prof. Thomas Djamaluddin menegaskan bahwa perbedaan penanggalan Islam di Indonesia seharusnya dapat dihindari apabila setiap pihak sama-sama ingin mencari jalan temu yang sama [9].

Pada posisi ini, penulis berusaha untuk bersikap netral dengan tidak mencela baik itu individu atau organisasi manapun yang memiliki perbedaan metode penentuan dengan apa yang seharusnya dijalani berdasarkan tuntunan. Namun, penulis menemukan suatu hubungan yang mungkin saja bisa menjadi titik temu di masa depan dalam proses unifikasi kalender Hijriah yang sedang berjalan.

Seperti yang kita ketahui, hisab merupakan sebuah metode perhitungan astronomis yang mampu memperkirakan tanggal Hijriah dalam kurun waktu yang sangat panjang. Hal ini akan menguntungkan bagi mereka yang berkepentingan dalam memulai proses penentuan awal bulan Hijriah. Ketika telah datang waktunya untuk menentukan awal bulan Hijriah, penulis merasa bahwa hasil hisab ini tentunya perlu dipastikan dengan melihat bagaimana kenampakan hilal pada hari itu, agar proses penentuan ini tidak menyalahi tuntunan yang diberikan oleh Rasulullah.

Kita sebagai masyarakat sipil sebaiknya mengikuti keputusan dari pemimpin yang ada di daerah kita dalam proses penentuan awal bulan Hijriah. Sudah sepatutnya bagi kita untuk menerima perbedaan ini sebagai salah satu keragaman tanpa membesar-besarkan sehingga nantinya muncul suatu permasalahan baru yang seharusnya bisa dihindari.

Akhir kata, kapan pun anda merayakan hari raya Idulfitri tahun ini, semoga amal ibadah kita selama satu bulan Ramadhan kemarin dapat Allah terima dan balas dengan pahala yang berlimpah.

Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat hari raya Idulfitri 1444H.

Referensi

  1. Seidelmann, P. K. (Ed.). (1992). Explanatory supplement to the astronomical almanac. University Science Books.
  2. Wahyudi, A. (2021). Berpuasalah Karena Melihatnya. Muslim.or.id. Diakses pada 21 April 2023, dari https://muslim.or.id/327-puasa-melihat-hilal.html
  3. Meziane, K., & Guessoum, N. (1999). La visibilité du croissant lunaire et le Ramadan : La tradition scientifique arabe est mal reconnue dans le monde islamique. La Recherche, 316, 66–71.
  4. Institute of Physics. (2022). Phases and orbits of the Moon. IOP. Diakses pada 21 April 2023, dari https://www.iop.org/explore-physics/moon/phases-and-orbits-moon
  5. Humas BRIN. (2023). BRIN Kaji Implementasi Kriteria Baru MABIMS. BRIN. Diakses pada 21 April 2023, dari https://www.brin.go.id/news/111595/brin-kaji-implementasi-kriteria-baru-mabims
  6. Odeh, M. (2004). New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Experimental Astronomy, 18(1–3), 39–64. https://doi.org/10.1007/s10686-005-9002-5
  7. Tabsir. (2008). Issues in the Islamic Calendar. Tabsir. Diakses pada 21 April 2023, dari https://tabsir.net/?p=633#more-633
  8. Ilham. (2022). Hisab Hakiki Wujudul Hilal, Apa dan Bagaimana? Muhammadiyah. Diakses pada 21 April 2023, dari https://muhammadiyah.or.id/hisab-hakiki-wujudul-hilal-apa-dan-bagaimana/
  9. Djamaluddin, T. (2023, March 8). Ukhuwah Islamiyah kok Dikalahkan Ego Organisasi. Dokumentasi T. Djamaluddin. DIakses pada 21 April 2023, dari https://tdjamaluddin.wordpress.com/2023/03/08/ukhuwah-islamiyah-kok-dikalahkan-ego-organisasi/

--

--