Jakarta Bagiku: Sebuah Prolog

Argya Rangga Wicaksono
3 min readJul 21, 2023

--

Potret Jakarta dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

“Jakarta adalah tempat untuk semuanya.”

Bagiku, Jakarta adalah rumah, walaupun rumahku bukanlah Jakarta.

Aku adalah seorang pendatang, jadi aku ingin kalian untuk menurunkan ekspektasi selama membaca kisah pembukaku ini. Kisah ini aku tulis berdasarkan perjalananku menjelajahi kota Jakarta, sembari melihat bagaimana mereka yang mempertaruhkan hidupnya di Jakarta berlalu-lalang dengan ramai.

Jakarta bukanlah tempat yang asing bagiku. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Bekasi, Jakarta merupakan destinasi favorit untuk menghabiskan waktu di akhir pekan bersama keluarga dan teman. Terkadang, aku bahkan lebih hapal daerah di Jakarta dibanding beberapa daerah di Bekasi.

Namun, ada hal yang baru kusadari tentang Jakarta belakangan ini.

Tanpa kusadari, ketertarikanku dengan Jakarta didasari pada hiruk-pikuk manusia yang pergi dan kembali dari seluruh daerah penyangganya. Aku adalah mereka, yang datang dan pulang dari Jakarta menggunakan transportasi umum. Selain karena harganya murah, aku sangat kagum dengan bagaimana Jakarta memoles transportasi umum untuk menjangkau hampir keseluruhan kawasannya.

Tetapi, sibuknya halte dan stasiun itu mengantarkanku pada sebuah pertanyaan.

“Mereka kenapa buru-buru banget, sih? Apa yang mau dikejar?”

Wajar bukan bertanya seperti itu?

Dulu, aku selalu heran kenapa orang-orang dan para pekerja di Jakarta itu kesannya grasak-grusuk seakan mereka dikejar makhluk halus, padahal jadwal transportasi umum itu masih tersedia banyak setidaknya hingga pukul 11 malam. Terlebih lagi mereka rela berkorban tenaga hanya untuk menjadi pindang manusia di antara ribuan penumpang lainnya. Gak masuk akal!

Mungkin kalau kita bisa mundur ke masa dimana aku masih mempertanyakan hal itu, aku akan datang ke diriku di masa lalu sambil berkata, “Minimal ngerti!”

Aku gak pernah membayangkan bahwa aku bisa belajar banyak ketika melihat lalu lintas manusia di halte dan stasiun. Bagiku saat itu, mereka hanya pesaing jahat yang punya tujuan merebut kursiku di kereta dan bis. Tetapi, ternyata dunia gak sesimpel itu, ya.

Dari mereka, aku belajar untuk menghargai waktu. Telat kereta 5 menit, ujung-ujungnya telat sampai di kantor bisa 1 jam. Aku sadar mereka lebih baik memilih untuk tidak duduk dibanding harus telat sampai di kantor atau rumah. Mungkin sekarang aku bisa berkata, “Yah, keretanya udah jalan. Tunggu kereta berikutnya aja, deh,” tetapi mungkin tidak dalam beberapa tahun ke depan.

Selain karena adanya mereka, Jakarta bagiku juga menawarkan harapan dan keindahan. Salah satu hobiku ketika suntuk di rumah adalah pergi ke Jakarta dan berkelana tanpa menentukan tujuan. Terkadang jalan kaki di Sudirman, eh tiba-tiba sampai di Thamrin. Sederhana ya kelihatannya, tapi percaya deh, efeknya gak main-main.

Selama berjalan di Jakarta, aku selalu menguatkan diriku dengan harapan suatu saat aku akan menjadi mereka yang pergi 5 hari dalam seminggu tiap pagi dan kembali tiap malamnya untuk mengejar mimpi. Iya, mimpiku salah satunya adalah menjadi seorang commuter. Minimal turunnya di Stasiun Sudirman juga sudah cukup, nanti perjalanannya disambung lagi naik MRT hingga Istora Mandiri, atau sekali-kali naik Transjakarta sampai Halte Polda Metro Jaya juga boleh.

Dalam harapan itu, aku selalu berusaha memaknai kehidupan lebih dalam. Mempertanyakan tujuan, eksistensi, dan manfaat dari hidup ini yang masih abu-abu. Namun, sepertinya kisah ini bisa aku tuliskan pada episode berikutnya. Aku tak mau terlalu panjang bercerita disini, karena ini hanyalah awal dari perjalanan kita bersama.

Sebuah kisah untuk memaknai apa yang kutemukan selama perjalanan.

--

--