Jakarta Bagiku: Rumah Tempat Kembali

Argya Rangga Wicaksono
4 min readAug 12, 2023

--

Lansekap Jakarta sore hari, dengan Wisma 46 di tengah foto. (Sumber: Wikimedia)

Sudah selesai membaca ceritaku tentang Jakarta bagian pertama? Sekarang, aku ingin mengajak kamu untuk mengetahui Jakarta yang telah kujadikan rumah, meskipun kini aku berada jauh dari kota ini.

Telah hampir 3 tahun aku menetap di Bandung sebagai ikhtiar dalam menuntut ilmu dan mengejar mimpi yang telah lama aku pegang. Bandung memang memberikan banyak kenangan untukku, mulai dari yang manis hingga pahit semua rasanya telah bercampur menjadi satu. Namun, hatiku tetap terpaut pada Jakarta, entah mengapa.

November 2020, aku datang untuk pertama kalinya ke kota Bandung bukan hanya sebagai turis, tapi seorang mahasiswa yang akan menetap di kota kembang. Momen itu adalah awal dari perjalananku tinggal cukup jauh dari keluarga yang ada di Bekasi. Memang sih, tidak terlalu jauh, tetapi aku kan tidak pernah meninggalkan Bekasi sebelumnya.

Pada saat itu, ada beberapa orang bertanya kepadaku, “Argya, nanti mau tinggal dimana setelah lulus kuliah?” Coba bayangkan saja dulu, anak kecil baru masuk kuliah sudah ditanya seperti itu, apa tidak bingung jawabnya? Walaupun begitu, aku saat itu sudah punya jawaban sendiri.

“Aku mau tinggal dimanapun yang penting bukan di Jakarta, terlalu sumpek dan bikin lelah duluan.”

Sekarang, aku menyesali jawaban itu.

Aku akan membawa kamu ke dalam sebuah cerita, yang membangkitkan kesadaranku bahwa sebenarnya yang aku butuhkan bukan pergi sejauh mungkin, tetapi pulang sebisa mungkin.

Cerita ini bermula pada akhir tahun 2021.

Aku baru saja menyelesaikan semester tiga dan kembali ke Bekasi untuk menghabiskan liburan di rumah bersama keluarga dan teman-teman. Oiya, baru kali ini juga aku akhirnya punya teman-teman yang entah kenapa selalu satu tujuan setiap kami pergi berkelana mengelilingi kota Jakarta.

Tujuan pertamaku saat berlibur bersama mereka adalah mendatangi sebuah pameran di SCBD. Iya, waktu itu adalah kali pertama aku datang ke daerah yang katanya berisikan orang-orang dengan pekerjaan elit. Jujur, pada saat itu sih penampilan aku agak overdressed, tetapi ya sudahlah mau diapakan lagi.

Bersama mereka juga, aku mengunjungi beberapa tempat lain di Jakarta dan sekitarnya, tentu saja menggunakan transportasi umum. Mungkin rasanya saat itu hampir setiap 2 hari sekali aku bisa ke Jakarta hanya untuk jalan-jalan. Masalah uang, jangan ditanya. Bikin dompet tipis!

Setiap perjalanan yang aku lalui mengajarkanku bahwa mencari kesenangan bukanlah hal yang sulit. Menghabiskan waktu bersama teman-teman saja bagiku sebenarnya sudah cukup, tetapi terkadang aku selalu mencari yang lebih daripada itu, hanya untuk kesenangan diri sendiri yang masih fana.

Serangkaian perjalanan tersebut mengantarkanku untuk memutar balik persepsi tentang Jakarta. Dari yang awalnya tak suka menjadi rindu. Dari yang awalnya merasa bahwa Jakarta terlalu crowded menjadi tertarik untuk ambil bagian bersama ribuan orang lainnya di ibu kota. Bandung yang awalnya surga bagiku kini terlihat tak lain hanya seperti kota biasa di cekungan Parahyangan.

Sejak saat itu, tekadku kuat untuk kembali pulang. Ada rasa bersalah yang timbul setiap mengingat masa dimana aku menganaktirikan daerah tempat aku dibesarkan. Seakan, ingin untuk kembali memutar waktu dan berjanji bahwa aku akan pulang, apapun yang terjadi.

Tekad kuat itu dibayar dengan kondisi homesick yang mulai menerjang ketika aku baru meninggalkan Bekasi dan Jakarta. Tetapi, apa mau dikata, perjalanan harus tetap berlanjut dan ada mimpi yang harus tetap dikejar. Kini, aku selalu kangen dengan suasana rumah di Bekasi dan daerah sekitarnya (walaupun panas teriknya tidak tertahankan).

Kini, perjalananku di kota Jakarta dan sekitarnya selalu dihiasi dengan rasa senang yang membuat wajah ini berseri. Melihat gedung tinggi, jalanan yang sangat lebar, city lights yang menggelora di malam hari, mengingatkanku bahwa aku masih memiliki mimpi yang harus kuraih. Dan selama proses meraih mimpi tersebut, ada suatu tempat yang dapat kuanggap menjadi rumah.

Tempat untuk duduk diam, bercerita, dan berserah kepada Sang Penguasa.

Jadi, apa konklusi yang bisa aku dapatkan dari cerita ini?

Menuliskan cerita ini mengingatkanku bahwa sebaiknya tempat untuk kita adalah rumah. Pulang memang bukan sebuah hal yang wajib, tapi itu adalah yang kita butuhkan, suka atau tidak, mau ataupun tidak. Mungkin saat ini kamu yang belum merasakan dorongan untuk pulang secepatnya, akan memiliki suatu momen dimana kamu berkata,

“Saatnya gue untuk pulang!”

Tetapi, tenang saja kawan. Pilihan untuk pulang tetap sepenuhnya menjadi otonomi dirimu. Aku tak berhak memaksamu untuk pulang, karena sebenarnya memang ada seseorang yang menganggap bahwa pulang adalah pilihan terburuk. Mungkin karena trauma, atau hal lain yang ia simpan selama ini.

Cerita ini baru sebatas awal dari keseluruhan yang ingin aku bagikan. Selanjutnya, aku akan berbagi kepada kamu tentang pelajaran apa yang aku dapatkan dari mereka, para pekerja di kota Jakarta yang tak lelah bermobilisasi tiap pagi dan malam dari seluruh penjuru untuk menggapai mimpi tingginya.

Sampai waktu itu tiba, aku harap kamu dapat mempertimbangkan.

“Kapan waktu terbaik untuk aku pulang?”

--

--